Assalamualaikum
ibu-ibu pembelajar...
Berakhirnya kelas
buncek tahap ulat-ulat pada minggu ini melegakan sekali. Setiap minggu, kami
harus rela kehilangan teman belajar yang terpaksa harus menghentikan langkah di
kelas. Mereka terkena drop out sebab tidak mengerjakan tugas sesuai deadline. Dengan jadwal yang intense, Rabu bertemu, kamis diskusi, Jumat merenung, Sabtu-Minggu hari keluarga sambil berpikir, Senin mulai mengerjakan, dan terakhir Selasa mengirimkan tugas.
Sungguh yang bertahan adalah para ibu pejuang cinta keluarga. Mau berletih mencerna materi. Sanggup mengatur waktu walau berpeluh. Tidak mengeluh di tengah pilu. Serta komitmen pada aturan demi ilmu pengetahuan.
Sungguh yang bertahan adalah para ibu pejuang cinta keluarga. Mau berletih mencerna materi. Sanggup mengatur waktu walau berpeluh. Tidak mengeluh di tengah pilu. Serta komitmen pada aturan demi ilmu pengetahuan.
Berapa banyak ibu di
luar sana yang mampu menerima amanah dengan ikhlas, bahagia, dan penuh
kepatuhan. Tentu lebih banyak yang abai daripada yang amanah. Itulah fitrah
dunia. Tinggal kita mau berubah atau pasrah?
Pasrah pada
kehidupan biar berjalan seperti air mengalir. Tanpa tujuan, batas waktu sampai
kapan begini? Oh no. Itu adalah pilihan orang-orang yang menyerah. Buktikan
bahwa kita adalah pejuang kebenaran. Mau berubah untuk kebaikan masa depan.
Saat ini diri kita
terpapar pemikiran yang tidak sesuai ajaran s
ang Nabi. Akankah
kita mencari jalan tuk kembali ataukah berdiam diri? Bahwa seorang perempuan
memiliki potensi untuk berkarya setara dengan lelaki. Harus berpenghasilan
sebesar lelaki. Berkiprah sama dengan lelaki. Tak ada batasan. Ya boleh. Boleh
saja mengikuti pemahaman seperti itu jika perempuan itu mau dan mampu. Sebenarnya perempuan tetaplah berbeda dengan
lelaki. Secara fisik dan psikis, perbedaan itu nyata adanya. Sehingga akhirnya
saya menerima kenyataan. Memutuskan untuk memilih setara dalam hal kehormatan,
kemuliaan, literasi pengetahuan, dan ketaqwaan. Soal karya dan kiprah, saya
memilih untuk produktif di ranah domestik. Sama-sama keren, bisa bekerja dan
berpenghasilan. Hanya beda lajur arah, namun bertemu di persimpangan.
Sementara itu, anak
kita terpapar gaya hidup serba instan sedari usia dini. Mau makan ada fast
food. Jika bosan tinggal main games di handphone. Tidak bisa diam langsung
diperlihatkan video youtube. Ingin jalan-jalan otomatis naik taksi online. Lalu
saat keinginan tak dituruti yang terjadi adalah amukan besar. Dimana waktu bagi
anak untuk mengerti adab, sopan santun, dan menghargai proses? Itu porsi
orangtua di rumah. Sekolah sudah cukup repot dengan segala target kognitif
pendidikan bagi otak. Bukan untuk jiwa dan perasaan anak. Jangan merasa telah
selesai tugas setelah menyekolahkan anak. Itu hanya satu aspek kebutuhan. Sudah
saatnya orangtua peduli untuk memberi asupan makanan bagi jiwa anak yang
kering. Itulah sumber dari kenakalan remaja. Usia sudah di atas 15 tahun tapi
perilaku kekanakan, jauh dari kata matang apalagi dewasa. Parah.
Komunitas ibu
profesional menjawab tantangan jaman dengan mendewasakan sang ibu. Dialah garda
terdepan dalam membentuk lingkungan keluarga. Unit terkecil dalam masyarakat
yang mampu mengubah wajah generasi masa depan. Satu anak baik jauh lebih berhak
mendapat penghargaan daripada anak yang sekedar pintar. Tentu lebih sempurna
lagi jika para ibu profesional mampu mencetak generasi baik sekaligus
pintar. InsyaAllah.
#bundacekatan #kelasulat #institutibuprofesional #aliranrasatahapulat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar