Sabtu, 05 Januari 2019

Membiasakan yang Tidak Biasa


Setiap hal pasti ada yang namanya permulaan. Begitu pun dengan blog ini. Di masa awal terasa sulit sekali. Bingung mau nulis apa. Tak ada ide atau sebaliknya justru kebanyakan ide loncat-loncat sehingga harus memilih mana yang harus ditulis. Seperti kemarin dan hari ini kendala yang sama terjadi. Kemarin pingin nulis tentang beberapa topik, kelamaan memilih dan akhirnya tidak menulis sama sekali. Tak akan terulang hari ini. Saya memaksakan diri untuk membuka laptop, langsung ketik saja apapun yang terlintas dalam pikiran. Jangan sampai hari ini terlewat satu post.

Teringat satu adegan terakhir di film goosebumps 2 yang ditonton bareng keluarga. Salah satu tokoh utama bertanya kepada penulis buku horor yang bernama R.L.Stine, "Bagaimana agar aku bisa menulis?". Jawabannya ialah "Tulislah apa yang kau ketahui". Duhh ngena banget gak sih.

Bagi penulis awal, otodidak, dan tak berpengalaman seperti saya, nasihat dalam film itu pas sekali. Saya terbiasa memilih topik, menyusun ide, membuat kerangka berpikir, menuliskan paragraf dalam hati bersambung ke hape lalu diketik, hapus, ketik lagi, hapus lagi. Berulang. Sampai kesel. Berakhir pada batal posting.

Plak!

Solusinya sudah saya genggam. Ternyata ada pada niat. Kemarin-kemarin itu niatnya kurang kuat sehingga mudah dipatahkan oleh keadaan alias gampang kena distraction. Anak minta sesuatu, ngantuk, pingin me time, scroll ga jelas, tenggelam browsing, sok sibuk, dan hal tidak penting lainnya.

Jadi sebetulnya kalau ada ide itu langsung nulis. Kerjakan. Siap grak. Saat itu juga. No excuse. Targetkan. Pokoknya hari ini aku harus posting dengan batas jam 5 sore. Artinya bagi penulis awal, 6 jam sebelum batas harus sudah mulai mengerjakan. Makin tinggi jam terbang plus mempelajari ilmu kepenulisan akan memperpendek waktu pengerjaan. Ibarat chef level executive masak paling hanya 10 menit sudah tersaji main course super enak bintang lima. Lain dengan ibu-ibu rumahan masak sampai satu jam tapi rasa biasa saja seperti masakan saya. Hiks.

Intinya konsisten setiap hari tiada waktu tanpa mikir "nulis apa ya hari ini?". Diiringi dengan melahap buku-buku terkait kepenulisan. Plus doa-doa di waktu yang mustajab dan restu dari keluarga. Yakin saya bisa. Hehe. Ini nulis sambil nunjuk diri sendiri dengan semangat yang menggelora. Semangat!

Kamis, 03 Januari 2019

Merindukan Masa Lalu


Dulu saya pernah sangat amat keren sekali. Lihat. Ada berapa kata hiperbola di kalimat pertama itu. Banyak yah. Artinya memang saya pernah merasa betul-betul keren. Bahkan tak pernah terbayang akan mampu mencapai titik setinggi itu.

Plak!

Itu dulu.

Woiii bangun. Mimpi kok diterus-terusin. Malu kali. Tengok kanan kiri. No one look at me. Ngaca depan cermin. Ah rupanya hanya saya. Seorang pemalas yang bercita-cita besar. Paginya dipenuhi ketergesaan, siangnya keteteran, sorenya kelelahan, dan malamnya penuh penyesalan. Kapan semua ini akan berakhir? Bosan dengan semua omong kosong ini. I quit.

This is my confession. Pertama, entah dulu memang betulan keren atau saya hanya "merasa" padahal tidak sama sekali. Haha. Jika memang hanya perasaan saja kan tak seharusnya saya bisa meraih berbagai penghargaan dan beasiswa. Berarti anggapan hanya merasa keren terbantahkan. Lanjut kedua, dulu saya kan bebas karena tak ada kewajiban ngurus anak dan rumah tangga sehingga waktu full untuk berkarya. Ini namanya ngeles. Lihat tuh di luar sana banyak emak-emak hebat meski anaknya segudang masih bisa berprestasi. Bahkan ada yang keluarganya sukses, karyanya diakui level nasional dan internasional, serta mampu memberdayakan umat. Okay ketiga, mungkin emak-emak jenis itu keluarga dan lingkungannya mendukung, nah saya kan sendirian tidak ada yang bantuin. Eits siapa bilang. Googling nih biografi emak-emak jaman now yang super produktif seperti Bu Septi Peni, Bu Tatty Elmir, Ummu Balqis, dan lainnya. Mereka punya karya, gerakan, dan passion masing-masing, fokus disitu dan berhasil baik di keluarganya serta projectnya. Coba dong temukan jalanmu sendiri dan tekuni, yakin aja sukses itu menghampiri siapapun yang siap.

Baiklah mencoba bernapas panjang. Hembuskan. Ingat bahwa masa keren saya telah berlalu beberapa tahun lalu. Untuk menjadi muslimah keren harus mulai dari nol lagi. Dan itu butuh niat yang benar lillahitaala dan strong reason. Bagi saya yaitu ingin bermanfaat bagi sesama. Simpel. Karena saya yakin punya something difference. Jika tak ditunjukkan maka saya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Maha Pemberi Berkah. Duh betapa takutnya. Jangankan olehNya, sekarang saja sudah ada beberapa penuntut yang menunggu karya saya. Misalnya pak suami, anak-anak, keluarga dekat, dan sahabat-sahabat lama. Bukankah itu bukti yang cukup memang sudah waktunya keluar dari comfort zone saya selama ini?

Masalah terbesar adalah saya merasa tak punya waktu untuk diri sendiri. Bisa mandi, makan, dan tidur dengan benar saja sudah bersyukur sekali. Gimana mau mikir bikin karya yang membutuhkan waktu tak sedikit. Kekhawatiran menyerang kalau anak saya kekurangan waktu bermain dan belajar bareng ibunya? Golden time tak kan pernah terulang. Gagal mendidik anak tak bisa diperbaiki. Sedangkan gagal di bidang lain masih bisa dikejar. Hmmm. Menyerah sebelum bertanding. Lagi-lagi pesimis. Negative thinking. Solusinya prioritize. Anak yang ditemani selama 24 jam oleh ibunya belum tentu lebih bahagia dibandingkan hanya 5 jam tapi berkualitas. Saya kan sudah mempelajari soal ini. Tapi kurang yakin. Now believe in your self. With Him nothing impossible.

Tiga amunisi untuk bergerak telah cukup sebenarnya. Yaitu tekad mau berubah, prioritizing skill, dan confidence. Tinggal daily consistency saja. Ayo dong saya bisa. Please. Support me, my self! I believe in you, my self. You are my true partner, my inner power, my strength.

Dulu ya dulu. Telah berlalu. Tak perlu dirindu.
Kini saatnya susun langkah baru. Fix.

Selasa, 01 Januari 2019

Resolusi Baru


Hi Assalamualaikum. Ini tulisan pertama saya setelah lama sekali cuti dari dunia kepenulisan. Hilang arah dan merasa sibuk dengan kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga yang rasanya tak pernah selesai. Di tahun baru ini ingin rasanya punya resolusi. Punya semangat yang membangunkan tidur di waktu subuh. Menghidupkan passion lagi. Tak sekedar wacana. Bukan "pupuk bawang".

Malam 31 Desember 2018, di saat yang lain sibuk berpesta di luar rumah. Bersuka cita merayakan tahun baru. Tapi saya tidak. Di rumah saja. Suami bilang malas mau keluar, pasti macet. Kalau ingin jalan-jalan di malam hari kan bisa hari apa saja. Lagipula anak pertama kami sudah tidur dan anak kedua yang bayi sudah ngantuk. Fix tahun baruan di rumah.

Pillow talk time. Saya memulai pertanyaan, "Bikin resolusi tahun baru?". Gak. Hanya ingin semua lebih baik. Kedengaran simpel tapi menjebak. Logikanya kan gini. Semua orang juga sama. Mau punya kehidupan yang lebih baik. Tapi tidak semua orang mau benar-benar serius menempuh jalan sulit dan melelahkan.

Tergantung siapa yang ngomong. Saya sudah mengenalinya. Yakin deh meski dia tidak punya resolusi tertentu tapi pasti dia berkomitmen tuk menjalani usaha yang keras mencapai segalanya lebih baik. Karena selama ini dia sudah seperti itu. Bertahun lamanya. Selalu memberikan yang terbaik. Tentu ditambah dengan doa orang tua, keluarga dekat, plus rahmat Ilahi yang perlu di mention. Sebab saya tipe yang meyakini tidak semua berasal dari usaha diri sendiri, tentu ada faktor semesta yang mendukung.

Kemudian ia balik bertanya, "kalau kamu gimana?". Otak mulai berputar, ingin menyebut mimpi yang belum tercapai tapi kok malu. Sebab selama ini saya menghentikan aktivitas personal development beralasan tuk mengurus anak-anak. Padahal tidak 100% saya mengurus anak sendiri seperti saat kami merantau keluar kota dulu. Hampir satu tahun ini ada keluarga saya yang membantu ngemong anak. Walau ada dua balita, saya bisa mengurus beberapa online shop yang menghasilkan keuntungan tak seberapa nilainya dibandingkan mimpi besar saya yang mungkin terlalu besar untuk saat ini.

Baiklah saya memberanikan diri menyebutkan mimpi-mimpi besar itu. Seolah bisa menebak. Responnya sanksi. Yah apa boleh buat. Kalau saya jadi dia pasti melakukan hal yang sama. Lagi-lagi tergantung siapa orang yang ngomong. Selama ini kami saling memahami, sudah tahu sifat masing-masing. Termasuk harga dari komitmennya. Terkecuali ia berubah menjadi pribadi baru. Yes. Baru kepribadiannya. Baru sifatnya. Barulah resolusi bisa terwujud.

Percuma. Sia-sia saja bikin rencana hebat ini itu. Buang-buang waktu saja mengikuti berbagai acara motivasi jika tidak ada aksi setelahnya. Ah sudahlah. Itu kan orang lain. Bukan saya. Buktinya saya mau berubah. Indikator keberhasilan saya adalah kualitas dan kuantitas dari tulisan saya yang dipublish secara online. Supaya bisa dinilai publik dan semoga bermanfaat menjadi amal. InsyaAllah.

Saatnya buka hape/laptop untuk create something. Bukan menjadi consumer tanpa arah yang kerjaannya scroll-scroll ga jelas. Hiks *tunjuk diri sendiri. Okay see you on the next post yah. Bismillah commit.


Masterminds dan False Celebration